Sore ini terlihat begitu sendu. Seperti tiga hari sebelumnya, rintik hujan membasahi kota Bogor saat ini, menandakan musim hujan akan tiba. Udara terasa begitu menusuk sampai ke tulang. Di luar kamar, aku mendengar celotehan adik – adik sepupu kecilku, dan perbincangan keluargaku yang lain. Aku tetap termenung, duduk berdiam diri disudut jendela kamar.
“La, keluar yuk ! Jangan di kamar terus.” ujar Vita sepupuku ketika membuka pintu.
“Gue lebih nyaman di sini, Vit.” jawabku sambil menatap keluar jendela.
“Lo nggak boleh gitu dong ! Ayo keluar, jangan murung terus.”
“Gue mau di sini aja.”
“Lo belum makan kan?”
“Gue nggak lapar !”
“Nanti lo sakit.” , bujuk Vita namun aku hanya diam.
Yah, sejak seminggu yang lalu, saat kepergian Ibuku kepangkuan Ilahi, karena penyakitnya yang biadab itu, Kanker Otak, beginilah aku. Di rumah aku selalu murung, dan tidak bergairah. Sekolah pun belum pernah ku kunjungi lagi. Saat ini, hanya Vitalah yang selalu berusaha menghiburku, tapi aku hanya mampu memunculkan senyum kecilku untuk semua kebaikannya
***
Esoknya aku kembali menjalankan aktivitasku belajar di sekolah. IX.B, sudah lama tidak berjumpa, meski baru satu minggu.
“La, lo udah masuk ?”, suara dari belakang cukup mengagetkan aku.
“Eh Tami, Iya. Gue takut ketinggalan pelajaran.”
“Hmm, bagus deh. Jangan sedih terus ya !” ujar Tami sambil tersenyum manis kepadaku.
Tiba waktunya istirahat, aku sangat merindukan teman – temanku. Aku segera berlari melewati koridor – koridor kelas. Menuju sebuah tempat, dimana kami, “d’upstar” biasa berbagi cerita, canda, tawa serta tangis nan haru. ‘GAMAT’. Itu julukan d’upstar untuk tempat istimewa tersebut. Tangga Keramat. Sebuat tangga yang masih berada dalam lingkungan sekolah, hanya saja berada di pojok sekolah tercintaku ini. Gamat tempat istimewa untuk kami. Tidak kotor, selalu bersih dan juga terang, tetapi gamat jarang dilewati siswa lain karena letaknya yang kurang strategis. Tapi di sinilah d’upstar biasa bersama.
D’upstar terbentuk ± 1,5 tahun yang lalu. Entah dari mana awalnya, hingga tiba – tiba muncul nama d’upstar dalam benak kami. ‘deuh.. apa sih yang gak buat sahabat tercinta?’. Itu arti d’upstar bagi kami. Aku, Litha, Devi, Tasya, Handi, Tama, Zaki dan si ‘ndut Yudi.
“Akhirnya …” ucapku sambil tersenyum ketika sudah berada di dekat Gamat, berharap ada d’upstar di sana.
“Litha?” panggilku, Litha menoleh.
“Lo udah masuk La?”
“Iya. Kok lo sendiri Tha? D’upstar mana?” tanyaku bingung
“Nggak tau !”
“Kok nggak tau?”
“Sejak 3 hari yang lalu Cuma gue sendiri yang ke Gamat.”
“Kok bisa?”
“Gue juga nggak ngerti.” jawabnya singkat. Aku dan Litha terdiam.
***
Esoknya, udara pagi terasa sangat dingin karena hujan yang turun tadi malam, membuatku malas beranjak dari singgasana mimpiku. Padahal, adzan subuh sudah berkumandang sejak 15menit yang lalu. Tapi aku harus segera bangun dan pergi salat subuh.
Jam sudah menunjukan pukul 06.30, aku sudah selesai sarapan dan siap untuk berangkat sekolah. Mengingat pesan Ibu, aku harus tetap semangat dan mampu menjadi putri kebanggaan ayah, karena hanya aku yang mereka punya. Satu ucapan Ibu yang menguatkan aku. Mutiara Hati. Aku sejuk mendengarnya dan yakin dengan apa yang akan ku hadapi. Aku berharap hari ini lebih baik dari kemarin. Menemui d’upstar di Gamat dan bisa kembali berbagi cerita. Aku menarik nafas panjang dan tersenyum. Aku siap memulai hari ini.
Istirahat pertama aku berdiam diri di kelas. Aku sengaja tidak ke Gamat, karena biasanya Litha dan Devi menjemputku. 10 menit berlalu, tapi mereka tidak datang. Aku mulai pesimis. Aku berjalan keluar kelas, ternyata aku melihat Handi, Tama dan Yudi sedang bersama teman – teman mereka yang lain. Tertawa leeepppaaasss sekali. Aku mencoba mengerti, mereka juga ingin bebas dan bisa berteman dengan siapapun.
Istirahat ke dua aku ke Gamat. Tapi kali ini lebih menyedihkan. Gamat KOSONG ! Aku duduk sejenak, aku bingung apa yang sebenarnya terjadi? Aku tidak diberi kesempatan untuk tahu sedikit, bahkan disaat aku butuh mereka. Aku kembali ke kelas dengan rasa sedih.
“Laa …” suara dari belakang memanggilku.
“Zaki?”
“Lo kapan udah mulai masuk?”
“Kemarin.”
“Oh …” jawabnya singkat. “Eh Ki, lo gak ke Gamat?” tanyaku
“Ke Gamat? Ngapain?”
“Oh nggak, ya udah gue ke kelas dulu yah !”
Ngapain? Zaki bilang NGAPAIN? Ya ampun, dia lupa??? Aku kembali berjalan menuju kelas. Hatiku semakin kacau. Sesampainya di kelas …
“La, lo kenapa?” tanya Tami
“Gak, gue gak apa – apa kok.” jawabku bohong
“Jangan bohong. Lo kenapa? Kalau mau cerita, cerita aja!”
“Gak ko, Mi. Bener gue nggak apa – apa”
“Yakin gak mau cerita?” desak Tami, aku hanya diam. “Lo kangen nyokap lo?”
“Bukan.” ,aku diam sejenak, “tapi d’upstar.”
“d’upstar kenapa?”
“d’upstar sekarang nggak tahu kemana. Gamat nggak berpenghuni lagi.” aku menangis.
“Kok bisa? D’upstar lagi ada masalah?”
“Gue juga nggak ngerti,Mi. tiba – tiba semua terjadi gitu aja. Gue gak ngerti apa – apa !” aku semakin tersedu, Tami mengusap pundakku, “Padahal gue lagi butuh mereka sekarang. Tapi apa?? Mereka gak ada.”
“Yah mungkin ini Cuma sesaat La. Lo jangan sedih gitu dong. Kan masih ada gue.” Tami tersenyum manis kepadaku, “Udah ah, jangan nangis lagi. Senyum dong!”
“Makasih ya, Mi.”
“Iya sama – sama.”
***
Hari demi hari berganti, tapi d’upstar belum kembali. Ini sangat menyesakkan aku. Aku ingin semua kembali, aku pun menemui Litha.
“Tha, lo mau gak sih d;upstart kayak dulu lagi?”
“Mau bangetlah, La! Sekarang Devi sama Tasya juga udah berubah.”
“Kita harus gimana?”
“Kita harus ngomong La! Kita harus tentuin nasib d’upstar. Kalo emang ada masalah, kita omongin baik – baik.”
“Emang sebenernya kenapa sih?”
“Nggak tahu. Waktu itu, gue baru datang sama Zaki, trus tiba – tiba Handi, Yudi sama Tama langsung pergi gitu aja.”
“Kenapa ya? Ya udah deh, besok istirahat pertama kita kumpul di Gamat.”
“Ok ! kita kasih tahu yang lain yah?”
Maaf ganggu, Cuma mau ngasih tau, besok tolong yah d’upstar kumpul di Gamat, istirahat pertama. Makasih.
Sms itu aku kirimkan kepada seluruh anggota d’upstar. Tidak beberapa lama, handphoneku bergetar. Tama menelponku.
“Kenapa, Ma?” tanyaku
“La, kayaknya besok kalo istirahat pertama gue nggak bisa deh.”
“Emang kenapa? Please, Ma, demi d’upstar.”
“Gak bisa La !”
“Terus gimana dong?”
“Hmm, gini aja deh. Gimana kalo istirahat ke dua aja?”
“Istirahat ke dua?”
“Iya. Istirahat ke dua. Gue janji deh !”
“Bener janji ?”
“Iya, gue janji. Suerr !!!”
“Ya udah, deal ya istirahat ke dua. Awas lo bohong. Gue pegang janji lo.”
“Sip boss.” jawab Tama meyakinkan dan langsung menutup telponnya.
Seperti yang sudah dijanjikan Tama, d’upstar berkumpul di Gamat istirahat ke dua, agar semua bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
“Mana sih Tama? Lama banget !” ujar Zaki menggerutu
“Ya elah baru 5 menit istirahat, sabar dulu, kenapa!” jawab Litha
“Udah tunggu aja dulu, Tama udah janji sama gue.” ujarku
20 menit berlalu, kami masih menuggu Tama di Gamat. Istirahat? Tinggal 5 menit lagi.
“Ah, bohong kali nih si Tama!” ujar Zaki yang sudah esal.
“Iya La, mana Tama? Kita udah nunggu lama nih.” timpal Tasya.
“Ga tahu, semalam katanya dia dia gak bisa kalau istirahat pertama dan langsung bilang janji kalau kumpulnya istirahat kedua.” jelasku
“Lagian si Tama dipercaya !” ujar Handi
“Ah.. udahlah, gue capek nunggunya. Kayak orang penting aja ditungguin.” ujar Zaki yang kesal dan meninggalkan Gamat.
“Sama ah, La. Gue juga capek, udah gue bela – belain gak jajan dulu tadi, eh malah begini. Yuk, Vi.” kata Tasya dan mengajak Devi pergi.
“Jadi gimana sekarang La?” tanya Litha
“Gue juga gak tahu, Tha.”
“Gue balik ke kelas aja ya, La. Lo di sini sama Handi.” aku hanya diam, dan Litha berlalu.
“Lo kalau mau pergi, pergi aja ! Gue gak apa – apa di sini sendiri.”
“Nggak, gue di sini aja nemenin lo.” jawab Handi
“Di, anak – anak pada nyariin lo tuh ! ke IX.E, yuk !” suara dari belakangku memanggil Handi.
“Udah, lo kalau mau pergi – pergi aja.” ujarku
“Di, cepetan !” suara itu memaksa Handi. Handi terlihat bingung.
“Duh gue gak enak La !” ujar Handi.
“Udah sana !” ujarku setengah berteriak.
“Ya udah La, gue ke sana. Maaf ya !” ujar Handi dan langsung pergi.
Waktu istirahat sisa 2 menit lagi. Aku beranjak dari Gamat menuju kelas. Ternyata …… di depan kelas IX.A, aku melihat Tama sadang tertawa – tawa bersama teman – teman sekelasnya. Aku sangat kecewa. Aku memandangnya sinis dan saat ia melihatku, dangan sengaja ia mengalihkan wajahnya. Aku masuk ke kelas dengan segala rasa marah dan kecewa.
***
Siang hari ini agaknya sedikit terik. Lebih cerah dari kemarin. Pulang sekolah, aku segera melangkahkan kaki ke rumah. Sesampainya di rumah aku heran melihat pintu rumahku yang tidak terkunci.
“Uhuk .. uhuk .. !” suara orang batuk itu datang dari kamar ayahku. Aku menghampiri suara itu.
“Ayah… ayah kenapa ?” tanyaku.
“Nggak, ayah gak kenapa – kenapa kok. Kamu sudah pulang ?”
“Iya, ayah.” , “Uhuh … uhuk ..”
“Ayah sakit? Kok gak kerja?” tanyaku lagi.
“Nggak, sayang. Ayah gak apa – apa. Udah kamu makan dulu sana, itu ada rendang di meja dari Bu Tia. Uhuk .. uhuk ..”
“Oh, tapi ayah udah makan?”
“Udah kok. Kamu makan dulu sana.”
“Ya udah, aku ke kamar dulu ya, Yah?” aku beranjak dari kamar ayah dan bergegas berganti pakaian dan langsung makan siang. Tiba – tiba ???? “PRRRAAAANGGGG !”. suara itu lagi – lagi datang dari kamar ayah. Aku segera berlari menuju kamar ayah, dan ku temui ayahku tergeletak lemah di lantai.
Ayahku terbaring lemah di bangsal UGD Rumah Sakit PMI Bogor. Aku hanya berdua dengan tetanggaku, Pak Fauzi, yang mengantar ayah. Ya, di rumah, sekarang aku hanya tinggal berdua dengan ayah. Karena aku tidak punya saudara kandung, apalagi sejak Ibuku pergi.
“Dik, tolong urus administrasi pendaftarannya ya !” ujar salah seorang suster.
“Baik, sus.” jawabku
Selesai mengurus administrasi pendaftaran, aku segera menghubungi keluargaku. Tanteku, Anita dan suaminya, Om Fery datang dan langsung menanyakan kabar ayah. Tidak beberapa lama setelah om dan tanteku datang, ayah segera mendapatkan kamar untuk perawatan yang lebih intensive. Setelah mendapat kamar ayah, dokter memanggil om dan tanteku. Aku menemani ayah di kamar rawatnya dan menunggunya tersadar dari pingsannya sejak 2 jam lalu.
Tante Anita kembali bersama Om Fery. Wajahnya terlihat lesu setelah menemui dokter. Aku diajaknya keluar kamar rawat ayah. Suasana rumah sakit tenang, semua membisu, seakan ikut berdebar menanti sebuah informasi dari tante Anita. Aku gugup melihat wajahnya, hatiku berdebar kencang. Tante Anita menarik nafas.
“Sabar ya, sayang.” ujar Tante Anita singkat dan mengusap pundakku.
“Ada apa, tante?” tanyaku bingung, tante Anita melirik Om Fery, seakan memberi isyarat.
“Segalanya yang terjadi adalah takdir ALLAH, jalan hidup kita sebagai umatnya.” ujar Om Fery, aku hanya diam, tidak mengerti. Hati semakin berdebar.
“Ayah kamu ………… ????” suara Om Fery menggantung, “Positive LIVER dan FLEK PARU – PARU.” lanjutnya.
Suara Om Fery. Kalimat itu, meluluh lantakkan aku. Aku lemas, tak mampu lagi menopang tubuh untuk berdiri. Air mata pun jatuh ke pipiku. Aku menagis sejadi – jadinya. Aku merasa sangat ‘HANCUR’ !!!! Aku merasa Tuhan tidak adil. Belum genap sebulan Ibu pergi, kini, ayahku ditimpa pula dengan penyakit macam itu, dan aku harus menanggung semua ini sendiri, tanpa teman. Aku tersungkur di pojok ruangan. Menyesali semua yang terjadi.
***
Dua hari berlalu, ayah masih di rawat di rumah sakit, tapi kini ayah sudah sadar. Dan dua hari itu pula, di sekolah d’upstar semakin tidak karuan. Tama selalu menghindar tiap bertemu dengan aku. Hingga akhirnya, istirahat pertama ini aku menghampirinya.
“Eh, dila. Ada apa?” tanyanya basa – basi.
“Kemarin kemana?” tanyaku memulai pembicaraan.
“Kemarin? Nggak kemana – mana.”
“Tiga hari yang lalu.” ujarku. Tama hanya diam. “Mana janjinya?” tanyaku lagi.
“Janji yang mana?”
“Janji yang mana?? Lo nanya janji yang mana??” aku mulai geram.
“Iya. Janji yang mana??”
“Lo lupa sama janji lo sendiri?? Jangan pura – pura gak tahu deh lo !” Tama terdiam. “Janji lo, Ma, tiga hari yang lalu buat datang ke Gamat istirahat ke dua dan nyelesain masalah d’upstar. Lo lupa????” suaraku meninggi.
“Gue …….”
“Gue kecewa sama lo, Ma. Gue piker lo bisa pegang janji lo.” ujarku lalu pergi meninggalkan Tama.
Istirahat kedua ternyata membuka harapan baruku. Litha dan Devi menjemputku. Tapi sayang, hatiku terlanjur beku. Tapi aku menurut untuk ikut ke Gamat. Ku fikir, akan hanya ada aku, Litha, Devi dan Zaki di sana, tapi ternyata … ?? d’upstar ‘kembali’.
Namun, berbeda dengan d’upstar sebelumnya. Sebelum semua sibuk dengan urusan masing – masing. Gamat menjadi saksi. Kami semua membisu seribu bahasa, larut dalam pikiran masing – masing, mencari ujung dari segala ujung permasalahan.
“Udah, sekarang langsung aja!” Tasya membuka suara.
“Langsung apaan?” tanya Handi sinis.
“Sebenarnya kita ada masalah apa sih?” ujar Litha.
“Masalah? Perasaan gak ada masalah apa – apa !” jawab Tama santai. Aku menatapnya tajam.
“Gini aja deh, lo semua nyadar ! Sejak beberapa minggu yang lalu, d’upstar jadi kayak gini. Kita sibuk sendiri, gak ada yang inget arti d’upstar !! Kita semua kenapa ?? Sekarang lebih baik kita selesain semuanya. Apa yang kalian rasain sekarang??” gretak Litha dengan suara yang cukup tinggi. Beberapa waktu kami semua terdiam.
“Lo bertiga kenapa sih sama gue?” tanya Zaki kepada Yudi, Tama dan Handi.
“Kenapa apanya?” Tama balik bertanya.
“Ya, lo kalo ketemu gue gitu banget. Beberapa minggu yang lalu, gue minta antar ke rumah Idris lo malah pada kayak gitu.” jelasnya.
“Eh, sekarang gini aja, lo mikir, enak banget lo tiba – tiba datang minta anter ke rumah orang. Tapi sebelumnya lo kemana? Inget gak lo sama kita? Mentang – mentang ada Idris, teman baru.” ujar Handi sedikit kesal.
“Tau lo, maen mah maen sama teman baru, senang. Giliran susah, baru lo nyari kita.” timpal Yudi.
“Oh jadi itu masalahnya?” tanya Zaki.
“Jangan itu masalahnya – itu masalahnya aja. Kita sih mau lo mikir aja. Ya, Ma?” ujar Handi.
“Yoyooii …!” jawab Tama singkat.
“Ya, kalo maslah itu gue minta maaf.”
“Terus …??” tanya Handi dengan sinis.
“Ya gue ……………………” kalimat Zaki terpotong.
“Udah cukup … !!!!” teriakku, semua terdiam menatapku. “Sekarang lo udah tau kan masalahnya?” tanyaku lantang sambil menunjuk Zaki. “Handi, Tama, Yudi, kalian juga udah denger kan, tadi Zaki udah minta maaf. Tolong, gak usah ungkit – ungkit yang lain.” ujarku panjang lebar.
“Gue Cuma mau dia …………” kalimat Yudi terpotong.
“Iya gue ngerti, gue tau. Lo bertiga Cuma mau Zaki sadar kan? Tapi ini ngancurin d’upstar tau gak?” potong Litha.
“Dan lo berdua …” aku menunjuk ke arah Tasya dan Devi. “Lo berdua kenapa?” tanyaku.
“Kenapa apanya?” tanya Devi heran.
“Sekarang lo berdua berubah !” timpal Litha.
“Berubah apanya? Perasaan kita gak berubah gimana – gimana deh. Ya kan, Vi?” ujar Tasya berlagak tidak tahu.
“Lo berubah ! Sekarang lo berdua udah gak nganggep gue sahabat kalian lagi. Lo selalu sibuk berdua. Gue gak pernah ada dimata kalian, gue gak penting lagi buat lo. Gue sakit diginiin !!!” jelas Litha sambil menangis.
“Apaan sih? Gue gak ngerti !” ujar Tasya yang malah berlagak tidak mengerti.
“Udahlah Sya, jujur aja. Lo gak mau kan gue jadi sahabat lo lagi??” Litha semakin tersedu.
“Lo semua liat kan sekarang ??? Liatkan???? D’upstar sekarang berantakan ….. !!!!!” suaraku meninggi, tinggi sekali. “Apa yang kalian mau sekarang? Mana d’upstar yang dulu?” semua hanya terdiam. Devi beranjak mendekati Litha yang masih menangis dan merangkulnya.
“Jujur, gue kangen banget sama d’upstar yang dulu. Di sini, di Gamat, kita selalu bareng – bareng. Ngabisin waktu buat berbagi cerita. Susah – seneng kita selalu bareng – bareng. Tapi sekarang apa???” aku mulai menitihkan air mata.
“Gue tuh lagi berduka. Hati gue tuh masih sedih karena kepergian nyokap gue. Tapi gue masih punya harapan, yaitu d’upstar. Gue berharap d’upstar bisa ngisi kehampaan hati gue. Tapi apa? Saat gue balik ke sekolah, gue ke Gamat, gue ancur! Harapan gue hilang. Padahal Cuma kalian tempat gue berbagi.” Aku menangis tersedu.
“La, udah … ssstttuusssttt !” Tasya merangkulku.
“Dan lo, Ma! Sumpah, gue kecewa banget sama lo. Gue pikir lo bisa tepatin janji lo. Gue junjung,Ma, janji lo. Tapi ternyata lo ancurin kepercayaan gue.”
“Gue ………..” Tama ingin menjelaskan.
“Udah, lo gak usah ngejelasin apa – apa. Satu, yang bikin gue sangat kecewa lo justru ketawa – ketawa sama teman – teman lo yang lain. Bahkan waktu lo ngeliat gue, LO JUSTRU BUANG MUKA !!” suaraku kembali meninggi. “Gue gak akan larang lo, Ma, kalo lo mau main sama siapapun. Tapi gue Cuma mau lo inget sama janji lo doang. Gak lebih.” ucapanku membuat semua termenung, mungkin mereka sedang berfikir.
“Ya gue minta maaf, La. Gue salah. Gue Cuma ……” kalimat Tama menggantung. “Jujur, gue gak siap sama apa yang kan gue hadapi.” lanjutnya.
“Gak gentle lo !” timpal Litha dengan suara surau. Tama hanya diam.
“Bokap gue diopname dua hari pun kalian gak tau kan??” lanjutku.
“Hah? Diopname, La?” tanya Devi kaget.
“Iya, kalian gak tau kan?”
“Kenapa, La? Kok bisa?” tanya Yudi.
“Bokap gue ……………” suaraku berat, tak sanggup untuk melanjutkan kalimat itu.
“Kenpa, La?” desak Handi.
“Bokap gue positive Liver dan flek paru – paru.” aku semakin terisak.
“Ya ampun, La. Sabar ya!” ujar Devi. Litha menghampiriku dan langsung memelukku dengan tangis. Gamat menjadi saksi bisu atas segala pribadi d’upstar. Dan hari ini, Gamat kembali mendapatkan satu potongan cerita. Cerita yang sangat berharga.
Litha melepas peluknya. “Gue gak kuat ngejalanin masalah gue sendiri. Gue butuh kalian. Gue kangen d’upstar.” ucapku yang sudah mereda tangis.
“Iya, gue juga kangen sama d’upstar.” timpal Litha.
“Gue minta maaf ya, tadi marah – marah kayak gitu. Tapi gue Cuma pengen semua selesai.” ujarku lagi.
“Iya, gue juga minta maaf ya, Tha. Gue salah. Gue bodoh banget ngelepas sahabat terbaik kayak lo. Maafin gue yah !” ujar Tasya. “Gue juga ya !” timpal Devi, Litha membalas dengan anggukan dan senyuman yang manis.
“Ya udah, maafin gue juga ya, sob.” ujar Zaki sambil mengulurkan tangan. Handi menatap Zaki tajam, Zaki sedikit salah tingkah. Tak beberapa lama, Handi mengembangkan senyumnya dan menyambut uluran tangan Zaki. “Yo’i, sob, sama – sama.”
“Maafin gue juga ya!” ujar Tama.
“Ho.oh, gue juga ya. Maafin gue.” timpal Yudi.
“Hmm, La. Maafin gue ya. Gue udah ngecewain lo. Maafin gue ya.” ujar Tama
“Iya, gak apa – apa. Kali ini gue maafin, tapi lain kali?? Jangan harap ya!” jawabku sambil tersenyum.
“Tau lo, makanya jadi cowo yang gentle dong.” timpal Tasya.
“Iya – iya.” jawab Tama sambil senyum – senyum.
“Ya udah, sekarang kan kita udah saling maafin. Selesai kan masalahnya, jelas semua? Lain kali, kalo ada masalah diomongin baik – baik ya, jangan kayak gini.” kataku.
“Iya, lucu pakai acara nangis – nangisan segala. Kan mali jadinya.” ujar Litha sambil tersenyum ‘geer’.
“Wooo, lo mah geer… !” ledek Handi
“GR? Gigi rontok, hahaha ….!!” ujar Yudi yang berusaha melawak. Semua saling melirik satu sama lain. Dan dengan kompak, kami …… “Apaan sih?? Hahaha ….”
“Ih, lo mah kalo ngecengin gue aja pada senang. Bete ah, gue !” ujar Yudi sedikit ngambek.
“Ccciiiee .. cciiieee …. Ngambek nih ye??” ledek Tama
“Ndut ngambek, ndut. Ccciiiieee … hahaha.” timpal Zaki.
“Eh udah – udah kasian, ntar guling – gulingan lagi. Hahaha.” ujar Handi.
“Eh lo, tega banget. Udah …” Devi membela.
“Ya udah, gak usah diperpanjang. Eh, nanti pulang sekolah tengokin bokapnya Dila, yuk !” ajak Litha.
“SSEETUJUUU …… !!!!” d’upstar menjawab dengan kompak dan mengkahiri dengan gelak tawa bahagia.
Inilah d’upstar sesungguhnya. D’upstar yang selalu ku rindukan. D’upstar yang kan selalu dihatiku dan yang kan selalu menjadi guru besarku dalam hal apapun, tempat berbagiku. Karena d’upstar adalah.. “jiwaku”.
Buah tangan :
“Anabella Evari”